TUGAS 9: AGAMA DAN MASYARAKAT
I. Pengertian
Agama
Agama
berasal dari bahasa sansekerta “agama” yang berarti tradisi sedang kan dari
kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa
Latin dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti mengikat kembali, yang
maksudnya adalah dengan berreligi seseorang mengikat dirinya dengan Tuhan.
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia agama merupakan system atau prinsip kepercayaan
kepada Tuhan.
Kaitan
agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi
penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi
rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan
maut menimbulkan religi, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada
pengalaman agamanya para tasuf. Kemudian, pada urutannya agama yang
diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan
sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, dimana
pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu
dengan masyarkat seharusnyalah tidak bersifat antagonis.
Membicarakan
peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut dua hal yang hubungannya sangat
erat, memiliki aspek-aspek yang terpelihara yaitu pengaruh dari cita-cita agama
dan etika agama dalam kehidupan individu dari kelas sosial dan grup sosial,
perseorangan dan kelektivitas, dan mencakup kebiasaan dan cara semua unsur
asing agama diwarnainya. Yan g lainnya juga menyangkut organisasi dan fungsi
dar lembaga agama sehingga agama dan masyarakat itu berwujud kolektivitas
ekspresi nilai-nilai kemanusiaan yang mempunyai seperangkat arti mencakup
perilaku sebagai pegangan individu (way of life) dengan kepercayaan dan taat
kepada agamanya.
Karena
latar belakang sosial yang berbeda dari masyarakat agama, maka masyarakat akan
memiliki sikap dan nilai yang berbeda pula. Kebutuhan dan pandangan kelompok
terhada prinsip keagamaan berbeda-beda, kadang kala kepentingannya dapat
tercermin atau tidak sama sekali. Karena itu kebhinekaan kelompok dalam
masyarakat akan mencerminkan perbedaan jenis kebutuhan keagamaan. Timbul
hubungan dua arah, tidak hanya kondisi sosial saja yang menyebabkan lahir dan
menyebarkan ide serta nilai-nila, tetapi bila ide dan nilai itu telah
terlembaga, maka akan mempengaruhi tindakan manusia.
Dalam
proses sosial, hubungan nilai dan tujuan masyarakat relatif harus stabil dalam
setiap momen. Bila terjadi perubahan dan pergantian bentuk sosial serta
kultural, hancurnya bentuk sosial dan kultural lama, masyarakat dipengaruhi
oleh berbagai perubahan sosial. Setiap kelompok berbeda dalam kepekaan agama
dan cara merasakan titik kritisnya.
Dalam kepekaan agama berbeda tentang makna,
dan masing-masing kelompok akan menafsirkan sesuai dengan kondisi yang
dihadapinya. Demikian pula berbeda tingkatan merasakan “titik kritis”
dalam ketidak pastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan untuk
masing-masing kelompok.
II.
Fungsi Agama
Fungsi
agama dalam masyarakat ada tiga aspek yaitu kebudayaan, sistem sosial dan
kepribadian. Ketiga aspek tersebut merupakan kompleks fenomena sosial terpadu
yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul
pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama dalam memelihara sistem, apakah
lembaga agama terhadap kebudayaan sebagai suatu sistem, dan sejauh manakah
agama dalam mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan
itu timbul sebab sejak dulu sampai saat ini, agama itu masih ada dan mempunyai
fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Sebagai
kerangka acuan penelitian empiris, teori fungsional memandang masyarakat
sebagai suatu lembaga sosial yang seimbang. Manusia mementaskan dan menolakan
kegiatannya menurut norma yang berlaku umum, peranan serta statusnya.
teori
fungsional dalam melihat kebudayaan pengertiannya adalah, bahwa kebudayaan itu
berwujud suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan dan sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang
beriteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya, setiap saat
mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat teta kelakuan, bersifat konkret
terjadi di sekeliling.
Dalam hal ini kebudayaan menentukan situasi dan kondisi
bertindak, mengatur dengan sistem sosial berada dalam batasan sarana dan
tujuan, yang dibenarkan dan yang dilarang. Kemudian agama dengan referensi
transendensi merupakan aspek penting dalam fenomena kebudayaan sehingga timbul
pertanyaan, apakah posisi lembaga agama terhadap kebudayaan merupakan suatu
sistem.
Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana masalah fungsional dalam konteks teori fungsional
kepribadian, dan sejauh mana agama mempertahankan keseimbangan pribadi
melakukan fungsinya. Kepribadian dalam hal ini merupakan suatu dorongan,
kebutuhan yang kompleks, kecenderungan, memberikan tanggapan serta nilai dsb
yang sistematis. Kepribadian sudah terpola melalui proses belajar dan atas
otonominya sendiri. Sebagai ilustrasi sistem kepribadian adalah Id, Ego dan
Superego yang ada dalam situasi yang terstruktur secara sosial.
Teori
fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial yang dominan dalam
terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama dan termasuk konflik sosial. Agama
dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan mendasar yang dapat
dipenuhi kebutuhan nilai-nilai duniawi. Tetapi tidak menguntik hakikat apa yang
ada di luar atau referensi transendental (istilah Talcott parsons).
Aksioma
teori fungsional agama adalah, segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap
dengan sendirinya, karena agama sejak dulu sampai saat ini masih ada, mempunyai
fungsi, dan bahkan memerankan sejumlah fungsi. Teori fungsionalis agama juga
memandang kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan pengalaman” (referensi
transendental) sebagai dasar dari karakteristik dasar eksistensi manusia
meliputi:
1.
Manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian; hal penting bagi keamanan dan
kesejahteraan manusia berada di luar jangkauannya
2.
Kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya
terbatas, dan pada titik dasar tertentu kondisi manusia dalam kaitan konflik
antara keinginan dengan lingkungan ditandai oleh ketidak berdayaan.
3.
Manusia harus hidup bermasyarakat dimana ada alokasi yang teratur dari berbagai
fungsi, fasilitas, dan ganjaran. Ini mencakup pembagian kerja dan produk. Dalam
hal ini tentu masyarakat diharuskan berada dalam kondisi imperatif, yaitu ada
suatu tingkat superordinasi dan subordinasi dalam hubungan manusia. Kelangkaan
ini menimbulkan perbedaan distribusi barang dan nilai, dengan demikian
menimbulkan deprivasi relatif.
Jadi
seorang fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk
mengatasi diri dari ketidak pastian, ketidakberdayaan dan kelangakaan dan agama
dipandang sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur
tersebut.
Fungsi
agama dalam pengukuhan nilai-nilai, bersumber pada kerangka acuan yang bersifat
sakral. Dalam setiap masyarakat sanksi sakral mempunyai kekuatan memaksa
istimewa, karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi dan supramanusiawi
dan ukhrowi.
Fungsi
agama dibidang sosial adalah fungsi penentu, dimana agama menciptakan
suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun
dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka.
Masalah
fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama.
Dimensi
agama, menurut Roland Robertson (1984), diklasifikasikan berupa keyakinan, praktek,
pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi.
a.
Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius
akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran
ajaran-ajaran agama.
b.
Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti yaitu perbuatan
untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata.
c.
Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan
tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai
pengetahuan yang langsung dan subjektif realitas tertinggi, mampu berhubungan
meskipun singkat dengan suatu perantara yang supernatural.
d.
Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang bersikap
religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan
upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e.
Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku
perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
III.
Masyarkat – masyarakat industri Sekular
Masyarakat
industri bercirikan dinamikan dan semakin berpengaruh terhadap semua aspek
kehidupan, sebagian besar penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi
yang penting adalah penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang
penting adalah penyesuaian-penyesuaian dalam hubungan kemanusian sendiri.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai konsekuensi penting bagi
agama. Salah satu akibatnya adalah anggota masyarakat semakin terbiasa
menggunakan metodi empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi
masalah kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas
seiring dengan pengorbanan lingkungan yang sakral.
IV.
Pelembagaan Agama
Agama
begitu universal, permanen dan mengatur dalam kehidupan sehingga bila tidak
memahami agama, akan sukar memahami masyarakat. Lembaga agama adalah apa dan
mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur agama.
Dimensi
ini mengidentifikasi pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan
pengetahuan keagamaan di dalam kehidupan sehari-hari. Terkandung makna ajara
“kerja” dalam pengertian teologis.
Kaitan
agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tida tipe, meskipun tidak
menggambarkan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1945).
a. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral.
Masyarakat
tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama
yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam
kelompok keagamaan adalah salam. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas
yang lain. Sifat-sifatnya:
1.Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat
secara mutlak.
2.Dalam keadaan lembaga lain selain keluarga relatif belum berkembang, agama
jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat
secara keseluruhan. Dalam hal ini nilai-nilai agama sering meningkatkan
konservatisme dan menghalangi perubahan.
b.Masyarakat Praindustri yang sedang Berkembang
Keadaan
masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi
daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai
dalam tiap masyarakat ini, tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral
dan yang sekular itu sedikit banyaknya masih dapat dibedakan. Dilain pihak,
agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama
hanya memberikan dukungan terhadap adat istiadat, dan terkadang merupakan suatu
sistem tingkah laku tandingan terhadap sistem yang telah disahkan. Nilai-nilai
keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian
kaitan agama dengan masyarkat.
Organisasi
keagamaan yang tumbuh secara khusus semula dari pengalaman agama tokoh
kharismatik pendiri organisasi, kemudian menjadi organisasi keagamaan yang
terlembaga. Muhamadiyah, sebuah organisasi sosial Islam yang penting,
dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran Muhammad
Abduh dari Tafsir Al-Manar.
Dari
contoh sosial, lembaga keagamaan berkembang sebagi pola ibadah, pola ide-ide,
kententuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi.
Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan
(ibadat) dan tingkat organisasi.
Sumber:
http://furikurniati.webs.com/tugasisd9.htm
https://yorga.files.wordpress.com/2013/07/one-way.jpg
http://furikurniati.webs.com/tugasisd9.htm
https://yorga.files.wordpress.com/2013/07/one-way.jpg